Selasa, 30/09/2014 08:37 WIB
"MK dalam mengadili pengujian UU MD3 terlalu tergesa-gesa, tidak berpegangan pada hukum acara sebagaimana mestinya yang telah diatur oleh UU 24/2003 sebagaimana diubah UU 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi khususnya Pasal 41 ayat 4 dan akhirnya tidak mampu menegakkan hukum dan keadilan," kata ahli tata negara Bayu Dwi Anggono saat berbincang dengan detikcom, Selasa (30/9/2014).
Pasal 41 ayat 4 berbunyi:
Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi:
a. pemeriksaan pokok Permohonan;
b. pemeriksaan alat bukti tertulis;
c. mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara;
d. mendengarkan keterangan saksi;
e. mendengarkan keterangan ahli;
f. mendengarkan keterangan pihak terkait;
g. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; dan
h. pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.
Namun dalam kenyatannya, saat mengadili gugatan UU MD3 hingga memutuskan menolak kemarin, hukum acara dalam Pasal 41 ayat 4 di atas tidak dilaksanakan.
"Padahal jika karena alasan waktu, MK bisa memberikan putusan sela terlebih dahulu yaitu pimpinan DPR dijabat oleh pimpinan sementara yang juga dimungkinkan sesuai ketentuan UU 17 Tahun 2014 tentang MD3 sampai dengan dikeluarkannya putusan akhir MK," tegas doktor dalam bidang Ilmu Perundang-undangan dari Universitas Indonesia (UI) itu.
Dengan diketoknya palu MK, maka 7 hakim konstitusi gagal mengembalikan daulat rakyat. Ketujuh hakim konstitusi melakukan voting sehingga 2 hakim lainnya kalah suara dalam putusan akhir dan menolak judicial review itu. 2 Hakim yang dimaksud yaitu hakim konstitusi Prof Dr Mafia Farida Indrati dan Prof Dr Arief Hidayat.
"Untuk perkara sepenting UU 17/2014 yang menyangkut nasib daulat rakyat, seharusnya MK mendengar terlebih dahulu saksi maupun ahli yang diajukan oleh pemohon, pihak terkait, pemerintah maupun DPR. Namun MK memaksakan diri memberikan putusan akhir dengan meniadakan beberapa tahapan dalam persidangan," cetus pengajar Universitas Jember (Unej) itu.
"Putusan ini adalah catatan buruk bagi perkembangan pembentukan UU di Indonesia karena MK melegalkan proses pembentukan UU yang didasarkan hanya pada kepentingan politik semata dan nyata-nyata melanggar prinsip-prinsip negara hukum," pungkas peneliti 428 UU produk reformasi itu.
Ikuti berbagai berita menarik hari ini di program "Reportase" TRANS TV yang tayang Senin sampai Jumat pukul 16.45 WIB
(asp/kha)
Foto Terkait
This entry passed through the Full-Text RSS service - if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers.
Andi Saputra 30 Sep, 2014
-
Source: http://detik.feedsportal.com/c/33613/f/656083/s/3ef4a7bc/l/0Lnews0Bdetik0N0Cread0C20A140C0A90C30A0C0A82750A0C270A48520C10A0Ctolak0Euu0Emd30Emk0Elanggar0Ehukum0Eacara/story01.htm
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
